AL-BALAGHAH: Pengantar

AL-BALAGHAH: Pengantar
Al-Balaaghah secara leksikal bermakna ‘sampai’. Sedangkan secara terminologi, balaaghah adalah kesesuaian suatu kalam dengan situasi dan kondisi disertai kefasihan yang tinggi serta terbebas dari dha’fu al-ta’lif dan tidak ta’qid ma’nawi wal lafdzi.

Fashaahah al-balaaghah tergantung pada dua aspek, yaitu balaaghah al-kalaam dan balaaghah al-mutakallim.

Kalam baligh: kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri atas kata-kata yang fasih
Mutakallim baligh: kepiawaian yang ada pada diri seseorang dalam menyusun kata-kata baligh (indah dan tepat) sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.

Secara ilmiah, ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk bisa mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan dan ketelitian dalam menangkap keindahan. Mampu menjelaskan perbedaan yang ada di antara macam-macam uslub (ungkapan). Dengan kemampuan menguasai konsep-konsep balaghah, bisa diketahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya serta akan terbuka rahasia-rahasia kemu’jizatan Al-Quran dan Al-Hadits.

Ilmu Bahasa:
Nadhori (teoretik) dan Aththabiqy (terapan)
Nadhori mencakup kaidah-kaidah (qawaaid) tentang sharf, nahwu, balaghah
Aththabiqy mencakup bidang kajian pengajaran bahasa asing, terjemah, psikolinguistik dan sosiolinguistik

Balaghah merupakan kajian teoretik yang membahas bentuk-bentuk pengungkapan dilihat dari tujuannya.
Sebagai wilayah kajian, ilmu ini terkait dengan makna, sehingga selalu bersinggungan dengan semantik.
Semantik berarti teori makna atau teori arti. Ilmu ini merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti
Semantik mempunyai objek berupa hubungan antara objek dan simbol linguistik. Selain itu ilmu ini membahas perubahan makna kata
Semantik sebagai ilmu untuk mengungkapkan makna mempunyai beberpa teori, di antaranya: conceptual theory, reference atau corespondence theory, dan field theory
Conceptual theory berpendapat: bahwa makna adalah “mental image” pembicara dari subjek yang dibicarakan
Reference theory/corespondence theory: makna adalah hubungan langsung antara makna dengan simbol-simbol acuannya
Field theory: teori ini menafsirkan kaitan makna antara kata atau beberapa kata dalam kesatuan bidang semantik tertentu
Semantik mengkaji kata dan makna, denotasi dan konotasi, pola struktur leksikal dan tata urut taksonomi
Ada kesamaan antara semantik dan balaghah, tapi ada satu bidang yang tidak dipelajari dalam semantik, yaitu ilmu badi’
Ilmu balaghah merupakan sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah kalimat, yaitu mengenai maknanya, susunannya, pengaruh jiwa terhadapnya serta keindahan dan kejelian pemilihan kata yang sesuai dengan tuntutan.

Ada tiga sub ilmu balaghah:

Ilmu ma’aani: mempelajari pengungkapan suatu ide atau perasaan ke dalam sebuah kalimat yang sesuai dengan tuntutan keadaan. Bidang kajian ini meliputi: kalam dan jenis-jenisnya, tujuan-tujuan kalam, washl dan fashl, qashr, dzikr dan hadzf, ijaz, ithnab, dan musawa

Ilmu Bayan: Ilmu untuk mengungkapkan suatu makna dengan berbagai uslub. Ilmu ini objek pembahasannya berupa uslub-uslub yang berbeda untuk mengungkapkan suatu ide yang sama. Ilmu bayan berfungsi untuk mengetahui macam-macam kaidah pengungkapan, sebagai ilmu seni untuk meneliti setiap uslub dan sebagai alat penjelas rahasia balaghah. Kajiannya mencakup tasybih, kinayah. dan majaz,

Ilmu Badi’: membahas tata cara memperindah suatu ungkapan, baik pada aspek lafal maupun pada aspek makna. Ilmu ini membahas dua bidang utama, yaitu muhassinaat lafdziyyah dan muhassinaat ma’nawiyyah. Muhassinaat lafdziyyah meliputi jinas, iqtibas, dan saja’. Muhassinaat ma’nawiyyah meliputi tauriyah, tibaq, muqaabalah, husn at-ta’lil, ta’kid al madh bima yusybih al-dzamm dan uslub alhakiim.

AL-BALAGHAH: Ilmu Ma'ani

A. Pengertian

• Ma’aani jamak dari ma’na, secara leksikal berarti arti
• Secara istilah: ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafal bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
• Objek kajiannya hampir sama dengan ilmu nahwu. Hanya kalau ilmu nahwu membahas makna yg lebih bersifar mufrad, sedang ma’ani lbh besifat tarkibi

B. Kajian

• Kalimat dan bagian-bagiannya
o Musnad – musnad ilaih
o Fi’il – mutaallaq

• Jumlah
o Fashal
o Washal
o Ijaz
o Ithnab
o musawat

Lebih rinci meliputi 8 macam kajian:
o Ihwal Isnad Khabary
o Ihwal musnad ilaih
o Ihwal musnad
o Ihwal mutaaliqaatul fi’li
o Al-Qashr
o Al-Insya’
o Alfashal dan alwashal
o Al-Ijaaz, al-ithnaab, dan al-musaawah

Jumlah = Kalimat

1. Jumlah Ismiyah
• Ismiyah : suatu jumlah (kalimat) yang terdiri atas mubtada’ dan khabar.
• Fungsi jumlah ismiyah adalah menetapkan sesuatu hukum pada sesuatu.
• Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud/pembaruan dan istimrar/kontinuitas (terutama yang khabarnya berbentuk fa’il atau isim maf’ul.
• Jika khabarnya berbentuk fi’il, maka mengandung dimensi waktu (bisa lampau, sekarang, atau yang akan datang)
• Jumlah ismiyah (kalimat nominal), mubtada’ ditempatkan di awal kalimat sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya
• Jika mubtada berbentuk nakirah (indefinitive) dan khabar berupa frase preposisi, maka khabar didahulukan

2. Jumlah Fi’liyah
• Jumlah fi’liyah: kalimat yang terdiri atas fi’il dan fa’il atau fi’il dan naibul fa’il
• Mengandung makna pembatasan waktu (lampau. Sedang, akan). Setiap fi’il hanya ada satu pembatas waktu.
• Waktu pada fi’il tdk perlu ada qarinah lafdziyah
• Penanda waktu pada isim perlu qarinah lafdhiyah
• Fi’il juga bisa menunjukkan makna tajaddud
• Jumlah fi’liyah juga bisa menunjukkan adanya perubahan secara berkesinambungan dan bertahap sesuai konteks dan indikatornya (syarat fi’ilnya berupa mudhari’)
• Pada jumlah fi’liyah (kalimat verbal), fi’il (verba) dapat berbentuk aktif dan pasif.
• Karakteristik jumlah fi’liyah tergantung kepada fi’il. Fi’il madhi membentuk karakter (baik positif maupun negatif). Sedangkan fi’il mudhari’ membentuk tajaddud (pembaharuan)
• Selain struktur, kalimat juga bisa digolongkan dari segi isi. Dari segi isi, baik jumlah ismiyah maupun fi’liyah ada kita sebut jumlah mutsabatah (kalimat positif) dan jumlah manfiyah (kalimat negatif).
• Jumlah mutsabatah (kalimat positif) ialah kalimat yang menetapkan keterkaitan antara subjek dan predikat (baik dalam jumlah ismiyah maupun jumlah fi’liyah)
• Jumlah manfiyah (kalimat negatif ialah kalimat yang menegasikan/meniadakan hubungan antara subjek dan predikat

IHWAL MUSNAD DAN MUSNAD ILAIH
• Jumlah (kalimat) paling tidak terdiri dari atas dua unsur. Kedua unsur itu dalam ilmu ma’aani adalah musnad dan musnad ilaih.
• Dalam ilmu ushul fiqh: musnad = mahkum bih. Musnad ilaih = mahkum bih
• Dlm gramatika Arab ada umdah = pokok dan fadlah = pelengkap. Fadllah = qayyid (dalam ma’aani)
• Posisi musnad dan musnad ilaih bervariasi tergantung bentuk jumlah/kalimat dan posisinya dalam kalimat
• Kaitan antara musnad dan musnad ilaih dinamakan isnad.
• Isnad: penisbatan suatu kata dengan kata lainnya sehingga memunculkan penetapan suatu hukum atas yang lainnya baik bersifat positif maupun negatif.

A. MUSNAD ILAIH
• Secara leksikal = yang disandarkan kepadanya.
• Secara istilah = mubtada yang mempunyai khabar, fa’il, naibul fa’il, dan beberapa isim dari amil nawasikh.
• Pengertian lain = kata/kata-kata yang kepadanya dinisbatkan suatu hukum, pekerjaan, dan keadaan
• Posisi musnad ilaih dalam kalimat:
• Fa’il
• Naib fa’il
• Mubtada’
• Ismu “kaana” dan sejenisnya
• Ismu “inna” dan sejenisnya
• Maf’ul pertama “dhanna” dan sejenisnya
• Maf’ul kedua dari “ra’aa” dan sejenisnya

B. MUSNAD
• Musnad = sifat, fi’il, atau sesuatu yang bersandar kepada musnad ilaih.
• Musnad berada pada tempat-tempat:
o Khabar mubtada
o Fi’il tam
o Isim fiil
o Khabar “kaana” dan sejenisnya
o Khabar “inna” dan sejenisnya
o Maf’ul kedua dari “dhanna” dan sejenisnya
o Maf’ul ketiga dari “ra’aa” dan sejenisnya

C. Mema’rifatkan Musnad Ilaih
• Dengan Isim alam
• Dengan dhamir
• Dengan isim isyarah
• Dengan isim maushul
• Dengan “Al”
• Dengan idhofah
• Dengan nida’
• Mema’rifatkan dengan isim alam:
o Menghadirkan zat pada ingatan pendengar
o Memuliakan/menghinakan musnad ilaih
o Optimis/mengharap yang baik

• Mema’rifatkan dengan dhomir
o Dhamir mutakallim
o Dhamir mukhattab
o Dhamir ghaib

• Mema’rifatkan dengan isim isyarah
o Menjelaskan keadaan musnad ilaih (jauh, sedang, dekat)
o Mengingatkan bhwa musnad ilaih layak memiliki sifat-sifat yang akan disebut
o Mengungkapkan derajat musnad ilaiah (dekat, sedang, jauh)
o Menampakkan rasa aneh
o Menyindir kebodohan mukhatthab
o Mengingatkan bahwa yang diisyarahkan pantas menyandang sifat-sifat tertentu.

• Mema’rifatkan dengan isim maushul:
o Tidak baik kalau dengan cara jelas
o Mengagungkan
o Menumbuhkan keingin tahuan
o Merahasiakan sesuatu dari selain mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan selain mukhatthab
o Mengagungkan kedudukan mahkum bih
o Mengejutkan: mengagungkan/menghina
o Tidak etis menyebut nama diri
o Menentukan pahala/siksa
o Mencela
o Menunjukkan keseluruhan
o Menyamarkan
• Mema’rifatkan dengan “al”
o Mengisyarahkan kenyataan sesuatu, maknanya terlepas dari kaidah umum – khusus
o Mengisyarahkan hakikat yang samar
o Mengisyarahkan setiap satuan yang bisa dicakup lafal menurut bahasa
o Menunjuk seluruh satuan dalam kondisi terbatas
(Catatan: ada “al” lil ahdi dan “al” liljinsi)
• Mema’rifatkan dengan idhafah
o Sebagai cara singkat menghadirkan musnad ilaih di hati pendengar
o Menghindarkan kesulitan membilang-bilang
o Keluar dari tuntutan mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain
o Mengagungkan mudhaf dan judhaf ilaih
o Meremehkan
• Mema’rifatkan dengan nida’
o Bila tanda-tanda khusus tidak dikenal oleh mukhatthab
o Mengisyarahkan kepada alasan untuk sesuatu yang diharapkan

D. MENAKIRAHKAN MUSNAD ILAIH
• Menunjukkan jenis
• Menunjukkan banyak
• Menunjukkan sedikit
• Merahasiakan perkara
• Untuk makna mufrad
• Menjelaskan jenis/macam

E. MENYEBUT MUSNAD ILAIH
• Al-idhah wat tafriq (menjelaskan dan membedakan)
• Ghabwatul mukhatthab (menganggap mukhatthab tdk tahu)
• Taladzdzudz (senang menyebutnya)



F. MEMBUANG MUSNAD ILAIH
• Untuk meringkas
• Terpeliharanya lisan ketika menyebut
• Li al-hujnah (merasa jijik menyebutnya)
• Li at-tamiim (generalisasi)
• Ikhfaul amri an ghairi mukhatthab (menyembunyikan musnad ilaih kepada selain mukhatthab)

IHWAL KALAM KHABARI

• Kalam adalah untaian kata yang memiliki pengertian yang lengkap. Dalam konteks ilmu balaghah kalam ada dua jenis: (1) kalam khabari dan (2) kalam insya’I
• Kalam khabari ialah kalimat yang mengandung kemungkinan benar atau tidak benar.

A. Tujuan Kalam Khabari
• Faidah al-khabar: untuk orang yang belum tahu sama sekali
• Lazimal Faidah: untuk orang yang sdh mengerti isi dari pembicaraan
Pengembangannya, untuk tujuan:
• Istirham (minta dikasihi)
• Idhar al-dha’fi ( memperlihatkan kelemahan)
• Idhar al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
• Al-fakhr (kesombongan)
• Dorongan kerja/berbuat keras


B. Jenis-jenis Kalam Khabari
• Mukhatthab yang belum tahu (khaalidz dzihni) – ibtida’i
• Mukhatthab ragu-ragu (mutariddid adzdzihni) - thalabi
• Mukhatthab yang menolak (inkari) – inkari

C. Deviasi Kalam Khabari
• Kalam thalabi digunakan untuk mukhatthab khaalidz dzihni
• Kalam ibtida’I digunakan untuk mukhatthab inkari

KALAM INSYA’I
• Kalam insya’I adalah suatu kalam yang setelah ucapan itu dituturkan tidak bisa dinilai benar atau dusta. Kalam insya’I merupakan kebalikan kalam khabari.
• Kalam insya’i: (1) insya’I thalabi: amar, nahyu, istifham, tamanni, dan nida’, (2) insya’I ghair thalabi: ta’ajjub, madz al-Dzamm, qasam, kata-kata yang diawali af’alur raja. Yg kedua ini tdk masuk bahasan ilmu ma’ani



A. Amar
• Amar adalah tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Adat untuk amr adalah dengan:
o fi’il amr,
o fi’il mudhari yang disertai lam amr,
o isim fi’il amar, dan
o mashdar pengganti fi’il.

B. Nahyu
• Nahyu adalah tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi. Adat nahyu adalah:
o Fiil mudhari’ yang sebelumnya dimasuki lam nahyi

C. Istifham
• Istifham adalah menuntut pengetahuan tentang sesuatu. Adat yang bisa digunakan:
o Hal
o A
o Ma
o Man
o Mata
o Ayyana
o Kaifa
o Aina
o Anna
o Kam
o ayyu

• Hamzah sebagai adat istifham mempunyai dua makna:
o Tashawwuri: jawaban yang bermakna mufrad. Ungkapan istifham yang meminta pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat mufrad = istifham tasawwuri
o Tashdiq: penisbatan sesuatu atas yang lain
• Man = untuk menanyakan orang
• Ma = untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Untuk meminta penjelasan tentang sesuatu atau hakikat sesuatu
• Mata = digunakan untuk meminta penjelasan tentang waktu (lampau maupun sekarang)
• Ayyaana = digunakan untuk meminta penjelasan mengenai waktu yang akan datang. Kata ini biasanya digunakan untuk menantang
• Kaifa = digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu
• Aina = digunakan untuk menanyakan tempat
• Hal = untuk menanyakan penisbatan sesuatu pada yang lain (tashdiq) atau kebalikannya. Mutakallim tdk mengetahui nisbah atau musnad dan musnad ilaihnya. Adat hal tdk bisa masuk ke dalam nafyu, mudhari makna sekarang, syarat, huruf athaf. Sedang hamzah bisa.
• Anna = (1) maknanya sama dengan kaifa, (2) bermakna aina, (3) maknanya sama dengan mata
• Kam = merupakan adat istifham yang maknanya menanyakan jumlah yang masih samar. Juga untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, jumlah, baik yang berakal maupun yang tidak
• Ayyu = digunakan untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah satu darai dua hal yang berserikat.
• Deviasi Istifham:
o Untuk maksud amar
o Untuk maksud nahyu
o Untuk maksud taswiyah (menyamakan dua hal)
o Untuk maksud nafyu (negasi)
o Untuk maksud inkar (penolakan)
o Untuk maksud tasywiq (mendorong)
o Untuk maksud penguatan
o Untuk maksud ta’dzim (mengagungkan)
o Untuk maksud tahqir (merrendahkan)
o Untuk maksud taajjub (mengagumi)
o Untuk maksud Alwa’id (ancaman)
o Untuk maksud tamanni (harapan yang tak mungkin terkabul)

D. Nida’ = Panggilan
• Nida adalah tuntutan mutakallim yang menghendaki seseorang agar menghadapnya. Adat yang biasa digunakan untuk memanggil adalah: a, ay, ya, aa, aai, ayaa, hayaa, dan waa
• a dan ay untuk munada yang dekat
• selainnya untuk munada yang jauh
• khusus untuk yaa bisa untuk yang dekat maupun yang jauh
• Kadang-kadang munada yang jauh digunakan adat nida a atau ay (karena dianggap ada kedekatan hati)
• Kadang-kadang munada yang dekat dianggap jauh (karena bisa dianggap ketinggian munada, atau kerendahan martabat, kelalaian, kebekuan hati)
• Penyimpangan makna nida:
o Untuk anjuran, mengusung, mendorong, menyenangkan
o Teguran keras/mencegah
o Penyesalan, kresahan, kesakitan
o Mohon pertolongan/istighotsah
o Ratapan/mengaduh
o Minta belas kasihan
o Merasa sayang, menyesal
o Keheranan atau kekaguman
o Bingung dan gelisah (tidak puas, tdk sabar, bosan)
o Mengingat-ingat
o Mengkhususkan (menuturkan isim zhahir setelah isim dhamir dengan tujuan menjelaskannya. Ini mempunyai tujuan: (1) tafakhur = membanggakan, (2) tawadhu’ = rendah hati.

E. Tamanni
• Tamanni (berangan-angan) adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang diskai tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya
• Menurut istilah balaghah: menuntut sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud. Ketidakmungkinan terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu yang mungkin akan tetapi tidak maksimal dalam mencapainya. Juga ungkapan yang mungkin terwujud tetapi tidak terwujud karena tidak berusaha secara maksimal.

FASHL DAN WASHL
• Fashl secara leksikal bermakna ‘memotong, memisahkan, memecat, menyapih’. Secara terminologi adalah tidak mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lainnya
• Washl secara leksikal bermakna ‘menghimpun atau menggabungkan’. Secara terminologis adalah mengathafkan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya melalui huruf athaf
• Fashl digunakan pada tiga tempat:
• Jika antara kalimat pertama dan kedua terdapat hubungan yang sempurna. Kalimat kedua berfungsi sebagi taukid atau penjelas, atau badal bagi kalimat yang pertama,
• Antara kalimat pertama dan kedua bertolak belakang
• Kalimat kedua sebagai jawaban bagi yang pertama
• Washl digunakan pada tiga tempat:
• Keadaan i’rab antara kedua kalimat sama
• Adanya kekhawatiran timbulnya kesalahpahaman jika tidak menggunakan huruf athaf
• Kedua jumlah sama-sama khobari atau sama-sama insya’i dan mempunyai keterkaitan yang sempurna

QASHR
• Qashr secara leksikal bermakna ‘penjara’. Secara terminologis adalah mengkhususkan sesuatu atas yang lain dengan cara tertentu
• Qashar memiliki empat unsur:
o Maqshur (berbentuk sifat atau maushuf)
o Magshur alaih (berbentuk sifat atau maushuf)
o Maqshur anhu yaitu sesuatu yang berada di luar yang dikecualikan
o Adat qashr.
LAA YAFUUZU ILLA AL-MUJIDDU.
YAFUUZU = MAQSHUR; AL-MUJIDDU = MAQSHUR ALAIH;
SELAIN AL-MUJIDDU = MAQSHUR ANHU; LA DAN ILLA = ADAT
QASHR

A. Jenis-jenis Qashr
• Dilihat dari aspek hubungan antara pernyataan dengan realitas:
o Qashr hakiki: apabila antara makna dan esensi dari pernyataan tsb menggambarkan sesuatu yg sebenarnya. Pernyataan tsb bersifat universal, tdk bersifat kontekstual, dan diperkirakan tdk ada pernyataan yg membantah atau pengecualian lagi setelah pernyataan tsb. (LAA ILAAHA ILLA ALLAH)
o Qashr idhafi: ungkapan qashr bersifat nisbi. Pengkhususan maqshur alaih pada ungkapan qashr ini hanya terbatas pada maqshurnya, tidak pada selainnya (WAMAA MUHAMMADUN ILLA RASUL QAD KHALAT MIN QABLIHIR RUSUL)

• Dilihat dari dua unsur utamanya (maqshur dan maqshur alaih):
o Qashar sifat ala maushuf (Sifat dikhususkan hanya untuk maushuf)
o Qashr maushuf ala sifah (maushuf hanya dikhususkan untuk sifat)

Catatan: sifat di sini adalah ma’nawiyah; bukan isim sifat dalam konteks nahwu.

B. Teknik Penyusunan Qashr
• Menggunakan kata-kata yg secara langsung menggambarkan pengkhususan (menggunakan kata qashr dan khushush)
• Menggunakan dalil di luar teks, seperti pertimbangan akal, perasaan indrawi, pengalaman, atau berdasarkan prediksi yang didukung oleh indikator-indikator tertentu.
• Menggunakan adat qashar:
o An-nafyu wal istitsna’ (negasi dan pengecualian
o Innama (hanya saja)
o Athaf dengan huruf la, bal, lakinna
- Laa bermakna mengeluarkan ma’ thuf dari hukum yg berlaku untuk ma’thuf alaih. Posisi maqshur dan maqshur alaih sebelum huruf athaf “laa”. Penggunaan laa untuk menqashar hrs memenuhi syarat: (1) ma’thufnya mufrad bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida’ (3) ungkapan sebelumnya tidak membenarkan ungkapan sesudahnya
- Kata “bal” = dalam qashr bermakna idhrab (mencabut hukum dari yang pertama dan menetapkan kepada yang kedua). Posisi maqshur alaih nya terletak setelah kata “bal”. Syarat-syarat: (1) ma’thuf bersifat mufrad, bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida.
- Kata “lakinna” menjadi adat qashar berfungsi sebagai istidrak. Kata ini sama fungsinya dengan “bal”

IJAZ, ITHNAB, DAN MUSAWAH
• Ijaz secara leksikal bermakna ‘meringkas’. Secara istilah dalam balaghah: mengumpulkan makna yang banyak dengan menggunakan lafal yang sedikit
• Efisiensi kalimat (ijaz) ada dua cara:
o Qashar = meringkas
o Hadzaf = membuang (bisa huruf, kata, frase, atau beberapa kalimat)
• Ithnab secara leksikal bermakna ‘melebih-lebihkan’. Secara istilah menambah lafal atas maknanya. Atau mendatangkan makna dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh banyak orang
• Lima bentuk ithnab:
o Menyebutkan yang khusus setelah yang umum
o Menyebutkan yang umum setelah yang khusus
o Menjelaskan sesuatu yg umum
o Pengulangan kata atau kalimat
o Memasukkan sisipan
• Musawah secara leksikal bermakna ‘sama’ atau ‘sebanding’. Secara terminologi adalah pengungkapan suatu makna melalui lafal yang sepadan, tidak menambahkan dan tidak mengurangkan.

AL-BALAGHAH: Ilmu Badi'

A. Hakikat Ilmu Badi’
Menurut leksikal: suatu ciptaan baru yang tidak ada contoh sebelumnya
Menurut terminologi: Suatu ilmu yang dengannya diketahui metode dan cara-cara yang ditetapkan untuk menghiasi kalimat dan memperindahnya setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dan telah jelas makna yang dikehendaki
Objek kajian ilmu badi’ adalah upaya memperindah bahasa baik pada tataran lafal (muhassinaat lafdziyyah) maupun makna (muhassinaat ma’nawiyyah)
Kalau ma’aani dan bayan membahas materi dan isinya, maka badi’ membahas dari aspek sifatnya.

B. Muhassinaat Lafdhiyyah
Jinas: suatu kata yang merupakan derivasi dari kata umum dari nau’. Dalam ilmu balaghah, jinas bermakna kemiripan pengungkapan dua lafal yang berbeda artinya. Atau dengan kata lain, suatu kata yang digunakan pada tempat yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda
Iqtibas, secara leksikal bermakna ‘menyalin’ dan ‘mengutip’. Secara terminologi adalah kalimat yang disusun oleh penulis dengan menyertakan patikan ayat atau hadits ke dalam rangkaian kalimatnya tanpa menjelaskan bahwa petikan itu berasal dari al-Quran atau hadits.
Saja’, secara leksikal bermakna ‘bunyi’ atau ‘indah’. Secara terminologis, saja’ adalah persesuaian bunyi. Jenis-jenis saja’:
- Al-Mutharraf: sajak yang dua akhir kata pada sajak itu berbeda dalam wazannya, dan persesuaiannya dalam huruf akhirnya
- Al-Murashsha’: saja’ yang padanya lafal-lafal dari salah satu rangkaiannya, seluruhnya atau sebagian besarnya semisal bandingannya dari rangkaian yang lain
– Al-Mutawaazi: saja’ yang persesuaian padanya terletak pada dua kata yang akhir saja.
Saja’ yang indah:
– Sama faqrahnya
– Faqrah kedua lebih panjang
– Yang terpanjang faqrah ketiganya
– Bagian-bagian kalimatnya seimbang
– Rangkaian kalimatnya bagus dan tidak dibuat-buat
– Bebas dari pengulangan yang tidak berfaedah
Ada kemiripan antara jinas dan saja’. Perbedaannya:
– Pada jinas, kemiripan dua lafal yang berbeda artinya atau maknanya. Sedangkan saja’ adalah cocoknya huruf akhir dua fashilah atau lebih.
– Kemiripan pada jinas terdapat pada macam huruf, syakal, jumlah, dan urutannya. Sedangkan kemiripan pada saja’ dilihat dari kecocokannya fashilahnya baik dalam wazan ataupun hurufnya.

MUHASSINAAT MA’NAWIYAH
Tauriyah secara leksikal bermakna ‘tersembunyi’. Secara terminologi: suatu lafal yang mempunyai makna ganda, makna pertama dekat dan jelas akan tetapi tidak dimaksud, sedang makna kedua jauh dan tersembunyi, akan tetapi makna itulah yang dimaksud
Tauriyah mempunyai beberapa kategori:
- Mujarradah: tauriyah yg tdk dibarengi oleh ungkapan yang cocok untuk keduanya
- Murasysyahah: tauriyah yang dibarengi oleh ungkapan yang sesuai untuk makna dekat
- Mubayyanah: tauriyah yang dibarengi oleh ungkapan yang sesuai untuk makna jauh
- Muhayyanah: tauriyah yang terwujud setelah ada ungkapan sebelum atau sesudahnya
Musyakalah secara leksikal bermakna ‘saling membentuk’. Secara terminologi: menuturkan sesuatu ungkapan bersamaan dengan ungkapan lain, yang kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang.
Istikhdam: menyebutkan suatu lafal yang mempunyai dua makna, sedangkan yang dikehendaki adalah salah satunya
Muqaabalah secara leksikal bermakna ‘saling berhadapan’. Secara terminologis: mengemukakan dua makna yang sesuai atau lebih kemudian mengemukakan perbandingannya secara tertib
Ta’kid al-madl bimaa yusybih al-dzamm: memuji seseorang akan tetapi seperti mencela:
- Menafikan suatu sifat tercela setelah mendatangkan sifat terpuji
- Menetapkan sifat pujian, kemudian diikuti oleh istitsna dan sifat pujian lainnya
I’tilaf al-lafzhi ma’a al-ma’na:
- Definisi pertama: menghimpun dua perkataan yang saling terkait baik lafalnya maupun maknanya. Juga dinamakan tanasub (keterkaitan), tawafuq (kesesuaian), i’tilaf (adanya pertalian)
- Definisi kedua: Menghimpun dua hal atau beberapa hal yang bersesuaian. Hal-hal tsb tidak dilihat dari aspek tersusunnya.

– Definisi ketiga: keadaan beberapa lafal sesuai dengan beberapa makna. Karena itu dipilih lafal-lafal yang agung dan kata-kata yang keras untuk menunjukkan kemegahan dan kesemangatan. Selain itu pula dipilih lafa-lafal yang lunak dan lembut untuk sanjungan
Catatan:
– Pertama: adanya kesesuaian antara dua ungkapan
– Kedua: makna mempunyai kesesuaian
– Ada penggabungan dua hal dan beberapa hal
Al-Jam’u secara leksikal bermakna ‘mengumpulkan’. Secara terminologi: menghimpun beberapa lafal dalam satu hukum
At-Tafriq secara leksikal bermakna ‘memisahkan’. Secara terminologi: mutakallim sengaja menyebut dua hal yang sejenis, kemudian mengungkapkan perbedaan dan pemisahan di antara keduanya, untuk tujuan memuji, mencela, menisbatkan, dll
Husn at-Ta’lil: sastrawan mengingkari secara terang-terangan ataupun tersebunyi terhadap alasan yang telah diketahui umum bagi suatu peristiwa, kemudian dia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya
Istithraad: seorang pembicara berpindah dari maksud ungkapan yang sedang diucapkannya kepada ungkapan lain yang masih mempunyai keterkaitan dengannya. Setelah itu ia kembali kepada ungkapan yang ditujukan sejak awal
Iththiraad: suatu ungkapan yg mengandung penyebutan nama dari beberapa bapak atau anak secara tertib dan mutlak
Taujih secara leksikal bermakna ‘pembimbingan’ atau ‘pengarahan’. Secara istilah: mendatangkan kalimat yang memungkinkan dua makna yang berlawanan secara seimbang, seperti mengejek, memuji, agar orang yang mengucapkan dapat mencapai tujuannya, yaitu tidak meaksudkan pada salah satunya secara eksplisit
Definisi lain taujih: mengucapkan satu kalam ihtimal yang memungkinkannya mempunyai dua makna yang berbeda.
Perbedaan taujih dan tauriyah:
- Tauriyah terdapat pada kata, sedang taujih terdapat pada sebuah susunan kalam
- Pada tauriyah, dari kedua pengertian yang dikandungnya hanya satu yang dimaksud, yaitu makna jauh. Sedangkan pada taujih, tidak jelas mana makna yang dimaksudnya
Thibaq adalah terhimpunnya dua kata dalam satu kalimat yang masing-masing kata tsb saling berlawanan dari segi maknanya.
Thibaq ada dua jenis:
- Thibaq ijab: apabila di antara kedua kata yang berlawanan tdk mempunyai perbedaan dalam hal ijab (positif) dan salab (negatif) – nya.
- Thibaq salab: apabila di antara kedua kata yang berlawanan mempunyai perbedaan dalam nilai ijab (positif) dan salab (negatif) - nya
Thayy dan nasyr: menyebutkan beberapa makna kemudian menuturkan makna untuk masing-masing satuannya secara umum dengan tanpa menentukan, karena bersandar kepada upaya pendengar dalam membedakan makna untuk masing-masing dari padanya dan mengembalikan untuk yang semestinya:
- Lafal yang berbilang itu disebutkan menurut tertib kandungannya
- Lafal yang berbilang itu disebutkan tidak menurut tertib urutannya
Mubalaghah: ekspresi ungkapan yang menggambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tdk sesuai dengan kenyataan). Ada tiga kategori:
- Tabligh: suatu ungkapan itu mungkin terjadi baik secara logika maupun realita.
- Ighraq: menggambarkan sesuatu yg secara logika tdk mungkin terjadi tetapi secara realita mgk terjadi
- Ghulu: ungkapan yg menggambarkan sesuatu baik secara logika maupun realita tidak mungkin terjadi. Ghulu yang diterima biasanya disertai lafal ‘kaada’ dan ‘lau’
Iltifat secara etimologis memiliki arti ‘perubahan’, ‘genggaman’, ‘lilitan’, ‘makan’, ‘melihat’, ‘campuran’
Iltifat: perpindahan dari semua dhamir; mutakallim, mukahatthab atau ghaib kepada dhamir lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan, agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian iltifat memiliki kelembutan, pemiliknya adalah rasa bahasa yang sehat
Iltifat: perpindahan gaya bahasa dari bentuk mutakallim atau mukhatthab atau ghaib kepada bentuk yang lainnya, dengan catatan bahwa dhamir yang dipindah itu dalam masalah yang sama kembali kepada dhamir yang dipindahkan, dengan artian bahwa dhamir kedua itu dalam masalah yang sama kembali kepada dhamir pertama
Iltifat: perpindahan dari sebagian gaya bahasa (uslub) kepada gaya bahasa lain yang mendapat perhatian
Iltifat: penyimpangan dari suatu gaya bahasa dalam kalam kepada gaya bahasa lain yang berbeda dengan gaya bahasa yang pertama
Iltifat dhamir:
- Iltifat dari mutakallim kepada mukhatthab
- Iltifat dari mutakallim kepada ghaib
- Iltifat dari mukhatthab kepada ghaib
- Iltifat dari ghaib kepada mukhatthab
- Iltifat dari ghaib kepada mutakallim
Iltifat ‘adad al-dhamir: perpindahan dari satu bilangan pronomina kepada pronomina lain di antara pronomina yang tiga, dengan catatan bahwa dhamir baru itu kembali kepada dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama:
- Dari mutakallim mufrad kepada mutakallim ma’al ghair
- Dari mutakallim ma’al ghair kepada mutakallim mufrad
- Dari mukahatthab mufrad kepada mukhatthab mutsanna
- Dari mukhatthab mufrad kepada mukhatthab jamak
- Dari mukhatthab mutsanna kepada mukhatthab mufrad
- Dari mukhatthab mutsanna kepada mukhatthab jamak
- Dari mukhatthab jamak kepada mukhatthab mufrad
- Dari ghaib mufrad kepada ghaib mutsanna
- Dari ghaib mufrad kepada ghaib jamak
- Dari ghaib mutsanna kepada ghaib jamak
- Dari ghaib jamak kepada ghaib mufrad
- Dari ghaib jamak kepada ghaib mutsanna
Iltifat anwa’ al-jumlah: perpindahan dari satu jumlah (kalimat) kepada jumlah lain di antara macam-macam jumlah yang ada; dengan catatn bahwa materi pada jumlah baru itu kembali kepada jumlah yang sdh ada.
- Dari jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyyah
- Dari jumlah ismiyyah kepada jumlah fi’liyyah
- Dari kalimat berita kepada kalimat melarang
– Dari kalimat berita kepada kalimat perintah
– Dari kalimat perintah kepada kalimat berita
– Dari kalimat melarang kepada kalimat berita
– Dari kalimat bertanya kepada kalimat berita
Para ahli balaghah bersepakat tentang keterkaitan iltifat dengan makna, pengaruhnya kepada jiwa, serta faedah dan poin yang didapat dalam berbagai gaya bahasa dan konteks.

Balagoh In Bayan

AL-BALAGHAH: Ilmu Bayan
A. Pengantar

• Bayaan secara leksikal bermakna ‘terang’ atau ‘jelas’. Secara terminologi: ilmu untuk mengetahui bagaimana mengungkapkan gagasan ke dalam bahasa yang bervariasi
• Kalam yang fasih adalah kalam yang terhindar dari tanaafur al-huruf, gharabah, dan mukhalafah al-qiyaas dalam kata-katanya, serta kalimat-kalimat yang diungkapkan tidak bersifat tanaafur, dha’fu al-ta’lif, dan ta’qid lafdzi
• Tanaafur al-huruf: kata-kata yang sukar diucapkan
• Gharabah: ungkapan yang terdiri atas kata-kata yang asing, jarang dipakai, dan tidak diketahui oleh orang banyak
• Mukhaalafah al-Qiyaas: kata-kata yang menyalahi atau tidak seuai dengan kaidah umum ilmu sharf
• Dha’fu al-ta’lif: susunan kalimat yang lemah, sebab menyalahi kaidah umum nahwu/sharf
• Ta’qid lafzhi (kerancuan pada kata-kata): ungkapan kata-katan tidak menunjukkan tujuan karena ada cacat dalam susunannya
• Ta’qid ma’nawi: kerancuan makna
• Mutakallim fasih: orang yang dapat menyampaikan maksudnya dengan ucapan yang fasihah (baik dan benar)
• Balaghah: Ilmu yang mempelajari kefasihan berbahasa yang meliputi ilmu ma’aani, bayan, dan badi’
• Bidang kajian ilmu bayaan meliputi: tasybih, majaz, dan kinayah

B. Tasybih

• Tasybih secara leksikal bermakna ‘perumpamaan’. Secara terminologi: menyerupakan sesuatu dengan yang lain karena adanya kesamaan dalam satu atau beberapa sifat dengan menggunakan alat/adat
• Tasybih termasuk uslub bayaan yang di dalamnya terdapat penjelasan dan perumpamaan.
• Tasybih terdiri atas empat bentuk:
o Mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat diindera dan menyamakannya dengan sesuatu yang bisa diindera.
o Mengeluarkan/mengungkapkan
sesuatu yang tidak pernah terjadi dan mempersamakannya dengan sesuatu yang terjadi
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan mempersamakannya dengan sesuatu yang jelas
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan dan mempersamakannya kepada sesuatu yang memiliki kekuatan dalam hal sifat
• Tasybih merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk menjelaskan sifat
• Rukun tasybih:
o Musyabbah: sesuatu yg hendak diserupakan
o Musyabbah bih: sesuatu yang diserupai
o Wajh syibh: Sifat yang terdapat pada kedua pihak
o Adat tasybih: huruf atau kata yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan
• Jenis-jenis tasybih:
o Ditinjau dari ada tidaknya alat tasybih
- Tasybih mursal: yang adat tasybihnya disebutkan
- Tasybih muakkad: yang dibuang adat tasybihnya
o Ditinjau dari ada tidaknya wajh syibh
- Tasybih mufashshal: Disebut wajh syibh nya
- Tasybih mujmal: Dibuang wjh syibhnya
o Dilihat dari segi ada tidaknya adat dan wajh syibh
- Tasybih baligh: Dibuang adat tasybih dan wajh syibhnya
- Tasybih ghair baligh: Kebalikan dari tasybih baligh
o Dilihat dari bentuk wjh syibhnya
- Tasybih Tamtsil: Keadaan wajh syibhnya terdiri atas gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal
- Tasybih ghair tamtsil: wajh syibhnya tidak terdiri dari rangkaian gambaran beberapa hal. Wajh syibhnya terdiri atas satu hal (mufrad). Tasybih ini kebalikan dari tasybih tamtsil.
• Tasybih yang keluar dari kebiasaan:
o Tasybih maqluub: jenis tasybih yang posisi musyabbahnya dijadikan musyabbah bih, sehingga yang seharusnya musyabbah dijadikan musyabbah bih, dan yang seharusnya musyabbah bih dijadikan musyabbah dengan anggapan wajh syibh pada musyabbah lebih kuat
o Tasybih dhimni: tasybih yang keadaan musyabbah dan mysyabbah bih nya tidak jelas (implisit). Kita bisa menetapkan unsur musyabbah dan musyabbah bih pada tasybih jenis ini setelah kita menelaah dan memahaminya secara mendalam
• Maksud dan tujuan tasybih:
o Menjelaskan kemungkinan adanya sesuatu hal pada musyabbah
o Menjelaskan keadaan musyabbah
o Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
o Menegaskan keadaan musyabbah
o Memperindah atau memperburuk musyabbah

C. Majaz

• Majaz secara leksikal bermakna melewati. Secara terminologi: Kata yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah disertai adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki
• Majaz (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki (denotatif)
• Makna hakiki: makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri.
• Majazi: perubahan makna dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada proses perubahan makna.
• Muraadif atau munaasabah tdk dikatakan memiliki makna majazi karena di dalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru
• Suatu teks bisa dinilai mengandung makna haqiqi jika si penulis menyatakan secara jelas bahwa maksudnya sesuai dengan makna asalnya; atau tidak adanya qarinah-qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa teks tsb mempunyai makna majazi.
• Jika ada qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tidak boleh dimaknai secara haqiqi, maka kita harus memaknainya secara majazi
• Ungkapan majaz muncul disebabkan:
o Sabab lafzhi: lafal-lafal tsb tidak bisa dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai haqiqi maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafzhi pula
o Sabab takribi (isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan fi’il kepada failnya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan
• Makna haqiqi: makna yang dipakai menurut makna yang seharusnya.
• Makna majazi: kata yang dipakai bukan pada makna yang semestinya karena ada alaqah (hubungan) dan disertai qarinah (lafal yang mencegah penggunaan makna asli).
• Majas pada garis besarnya terdiri atas majas lughowi dan majaz aqli.
• Majas lughowi: majas yang alaqahnya atau illah nya didasarkan pada aspek bahasa
• Majas aqli adalah penisbatan suatu kata fi’il (verba) kepada fa’il yang tidak sebenarnya
• Majas lughowi terdiri atas majaz isti’arah dan majaz mursal:
o Majaz isti’arah: yang alaqahnya (hubungan) antara makna asal dan makna yang dimaksud adalah musyaabahah (keserupaan).
o Majaz mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyabbah (tidak saling menyerupai)
• Majaz isti’arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafain nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang pula wajh syibh dan adat tasybihnya
• Dalam isti’arah: musyabbah dinamai musta’ar lah dan musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung isti’arah dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’. Qarinahnya ada dua yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’
• Ditinjau dari musta’ar lah dan musta’ar minhu, majaz isti’arah ada dua kategori:
o Isti’arah tashriihiyyah: yang ditegaskan (ditashrih) adalah musta’ar minhu nya sedangkan musta’ar lah nya dibuang. Dengan istilah lain: musyabbah bihnya disebut, dan musyabbahnya dibuang
o Isti’arah makniyyah: yang dibuang adalah musta’ar minhu, atau dengan kata lain musyabbah bihnya dibuang.

• Ditinjau dari segi bentuk lafalnya:
o Isti’arah ashliyah: jenis majaz yang lafal musta’ar nya isim jami bukan musytaq (bukan isim sifat)
o Isti’arah taba’iyyah: jenis majaz yang musta’arnya fi’il, isim musytaq atau harf
• Ditinjau dari kata yang mengikutinya:
o Isti’arah murasysyahah: ungkapan majaz yang diikuti oleh kata-kata yang cocok untuk musyabbah bih
o Isti’arah muthlaqah: yang tidak diikuti oleh kata-kata, baik yang cocok bagi musyabbah bih mauapun musyabbah
o Isti’arah mujarradah: yang disertai dengan kata-kata yang cocok bagi musyabbah
• Majas mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyaabahah (tidak saling menyerupai). Alaqah antara musta’ar dan musta’ar minhu dalam bentuk:
o Sababiyah: ini sebagai salah satu indikator majaz mursal. Menyebutkan sebab sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang disebabkan
o Musababiyyah: Ini indikator kedua. Menyebutkan sesuatu yang disebabkan, sedangkan yang dimaksud adalah sebabnya
o Juz’iyyah: Menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keseluruhannya
o Kulliyah: Menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sebagiannya
o I’tibaaru maa kaana: Menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau yang belum terjadi
• I’tibaaru maa yakuunu: Menyebutkan sesuatu dengan keadaan yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keadaan sebelumnya
o Mahaliyyah: Menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah menempatinya
o Haliyyah: menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang merasakan keadaan itu
o Aliyah: apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dihasilkan oleh alat tersebut
• Majaz aqli: menyandarkan fi’il (verba) atau yang semakna dengannya kepada yang bukan seharusnya karena ada alaqah (hubungan) serta adanya qarinah yang mencegah dari penyandaran yang sebenarnya.
• Penyandaran fi’il atau yang semakna dengannya dilakukan kepada:
o Sebab
o Penisbatan kepada waktu
o Penisbatan kepada tempat
o Penisbatan kepada mashdar
o Mabni maf’ul disandarkan kepada isim fa’il
o Mabni fa’il disandarkan kepada isim maf’ul




D. Kinayah

• Kinayah secara leksikal bermakna ‘ucapan yang berbeda dengan maknanya. Secara etimologis: suatu kalam yang diungkapkan dengan pengertiannya yang berbeda dengan pengertian umumnya, dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya
• Kinayah pada awalnya bermakna dhamir, irdaf, isyarah, isim maushul, laqab, badal, dan tikrar. Sekarang mempunyai pengertian seperti di atas
• Perbedaan antara majaz dan kinayah terletak pada hubungan antara makna hakiki (denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan berbentuk majaz, teks harus dimaknai secara majazi dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Sedangkan pada ungkapan kinayah, teks harus dimaknai dengan makna yang berbeda dengan lazimnya dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya.
• Ilmu balaghah mengalami perkembangan sampai pada akhirnya para ahli balaghah bersepakat bahwa kinayah adalah “suatu ungkapan yang diucapkan dengan pengertiannya yang lazim, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan dipahami dalam pengertiannya yang asal
• Dari segi makna kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah sifah, kinayah maushuf, dan kinayah nisbah
• Kinayah sifah adalah pengungkapan sifat tertentu tidak dengan jelas, melainkan dengan isyarah atau ungkapan yang dapat menunjukkan maknanya yang umum. Istilah shifah dalam ilmu balaghah berbeda dengan shifah pada ilmu nahwu. Sifat sebagai salah satu karakteristik kinayah berarti sifat dalam pengertiannya yang maknawi (seperti: kedermawanan, keberanian, panjang, keindahan, dan sifat-sifat lain yang merupakan lawan dari zat)
• Kinayah shifah mempunyai dua jenis:
o Kinayah qariibah: perjalanan makna dari lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada lafal kinayah tanpa melalui media
o Kinayah baa’idah: perpindahan makna dari makna lafal-lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada makna pada lafal-lafal kinayah memerlukan lafal-lafal lain untuk menjelaskannya.
• Kinayah maushuf: apabila yang menjadi makny anhu nya atau lafal-lafal yang dikinayahkan adalah maushuf (dzat). Ada dua jenis kinayah maushuf:
o Kinayah yang makny anhu nya (lafal yang dikinayahkan) diungkapkan hanya dengan satu ungkapan
o Kinayah yang makny anhu nya diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan yang banyak. Pada jenis kinayah ini, sifat-sifat tsb harus dikhususkan untuk maushuf, tdk untuk yang lainnya.
• Kinayah nisbah: apabila lafal yang menjadi kinayah bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan maushuf, akan tetapi merupakan hubungan sifat dan maushuf
• Dari aspek wasaaith (media; lafal-lafal atau makna-makna yang menjadi media atau penyambung dari makna hakiki kepada makna majazi) kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah ta’ridh, talwih, imaa atau isyarah, dan ramz
• Kinayah ta’riidh (sindiran): secara leksikal bermakna ‘sesuatu ungkapan yang maknanya menyalahi lahirnya lafal. Secara terminologi: suatu ungkapan yang mempunyai makna yang berbeda dengan makna sebenarnya. Pengambilan makna tersebut didasarkan kepada konteks pengucapannya
• Zarkasyi: Ta’ridh adalah pengambilan makna dari suatu lafal melalui mafhum (pemahaman konteks). Dinamakan ta’ridh karena pengambilan makna didasarkan pada pemaparan lafal atau konteksnya
• Zamakhsyari: Antara kinayah dan ta’ridh terdapat perbedaan. Kinayah berarti menyebutkan sesuatu bukan dengan lafal yang ditunjukkannya. Sedangkan ta’ridh menyebutkan suatu lafal yang menunjuk pada suatu makna yang tidak disebutkannya
• Ibn Al-Atsir: Ta’ridh lebih mementingkan makna dengan meninggalkan lafal
• Syakaki: Ta’ridh selain terdapat pada kinayah juga terdapat pada majaz
• Talwih secara bahasa bermakna ‘engkau menunjuk orang lain dari kejauhan’. Secara terminologi: Talwih adalah jenis kinayah yang di dalamnya terdapat banyak wasaaith (media) dan tidak menggunakan ta’ridh (Bakri Syeikh Amin)
• Zarkasyi: Talwih adalah seorang mutakallim memberi isyarah kepada pendengarnya pada sesuatu yang dimaksudkannya
• Imaa atau isyaarah: Kinayah jenis ini merupakan kebalikan dari talwih. Di dalam imaa, perpindahan makna dari makna asal kepada makna lazimnya terjadi melaui media (wasaaith) yang sedikit. Pada kinayah ini, makna lazimnya tampak dan makna yang dimaksud juga dekat
• Ramz: Secara bhs ramz berarti isyaarah dengan dua bibir, dua mata, dua alis, mulut, tangan dan lisan. Isyarah-isyarah tsb biasanya dilakukan dengan cara tersirat. Secara istilah: ramz adalah jenis kinayah dengan media (wasaaith) yang sedikit dan lazimnya tersirat. Dengan kata lain, ramz adalah isyaarah kepada sesuatu yang dekat dengan anda secara tersirat. Ramz menyerupai bahasa sandi. Orang Arab menyebutnya ‘Lahn’ atau ‘malaahin’

• Tujuan Kinayah:
o Menjelaskan (Al-Idhaah)
o Memperindah makna
o Menjelaskan sesuatu
o Mengganti dengan kata-kata yang sebanding karena dianggap jelek
o Menghindari kata-kata yang dianggap malu untuk diucapkan
o Peringatan atas keagungan tuhan
o Untuk mubalaghah (hiperbola)
o Untuk meringkas kalimat

• Hubungan kinayah dan majaz:
o Persamaan antara majaz dan kinayah, keduanya sama-sama berkaitan dengan makna yang tsawaani (majazi). Sedangkan perbedaannya terletak pada qarinah.
o Qarinah dalam ilmu balaghah adalah suatu ungkapan baik eksplisit maupun implisit yang ada pada suatu kalam (wacana) yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud pada ungkapan tersebut bukan makna haqiqi.
o Qarinah ada dua: qarinah lafdziyyah dan qarinah ma’nawiyyah
- Qarinah lafdziyyah adalah qarinah yang berbentuk lafal-lafal. Jika dalam suatu kalam terdapat satu kata atau lebih yang menunjukkan bahwa makna dalam kalam itu bukan makna haqiqi, maka dia disebut qarinah lafdhiyyah
- Qarinah ma’nawiyah adalah qarinah yang menunjukkan bahwa makna kalam itu bukan hakiki dengan tersirat
o Pada majaz, qarinah bisa bersifat lafdziyyah dan bisa juga bersifat ma’nawiyyah; sedangkan pada kinayah qarinahnya harus tersirat
o Pada majaz, qarinah mencegah pengambilan makna haqiqi; sedang pada kinayah, qarinah tidak mencegah untuk mengambil makna haqiqi.
o Para pakar balaghah berpendapat qarinah pada ungkapan majaz mengharuskan kita mengambil makna majazi dan meninggalkan makna hakikinya
o Pakar ushul fiqh berpendapat tidak ada perbedaan antara qarinah pada majaz dan kinayah, boleh antara mengambil makna haqiqi dan majazi
o Qazwaini: Antara majaz dan kinayah terdapat perbedaan. Pada majaz mesti ada qarinah yang menolak makna haqiqi
o Syakaki: Pada majaz, perpindahan makna terjadi dari malzuum kepada laazim. Pada kinayah, perpindahan makna dari laazim kepada malzuum. Selain itu, kelaziman itu sendiri merupakan kekhasan yang ada pada kinayah
• Hubungan Kinayah dan Irdaaf (sinonim):
o Menurut pakar ilmu bayaan, esensi dari kinayah merupakan irdaaf
o Menurut pakar badi’: irdaaf berbeda dengan kinayah. Kinayah adalah menetapkan salah satu dari beberapa makna dengan tidak menggunakan lafal yang seharusnya, akan tetapi menggunakan sinonimnya sehingga pengambilan maknanya cenderung kepadanya
• Suyuti: Salah satu dari jenis badi’ yang menyerupai kinayah adalah irdaaf yaitu seorang mutakallim ingin mengungkapkan sesuatu, akan tetapi tidak menggunakan lafal yang seharusnya dan tidak pula ada isyaarah yang menunjukinya. Lafal yang digunakannya adalah sinonim dari lafal yang seharusnya
• Pendapat lain tentang irdaaf dan kinayah: irdaaf berpindah dari yang disebutkan kepada yang ditinggalkan; sedangkan kinayah maknanya berpindah dari yang lazim kepada yang malzum
• Perbedaan Kinayah dan Ta’ridh:
o Zamakhsary: Kinayah adalah menyebutkan sesuatu bukan dengan menggunakan lafal yang seharusnya. Sedangkan ta’ridh adalah mengungkapkan makna sesuatu dengan tidak menyebutkannya
o Ibn Atsir: Kinayah adalah suatu ungkapan yang mengandung makna haqiqi dan majazi dengan gambaran yang mencakup keduanya. Sedangkan ta’ridh adalah suatu ungkapan yang mengandung makna dengan tidak melihat dari sisi haqiqi dan majazinya
o Subky: Kinayah adalah lafal yang digunakan pada makna lazimnya, yaitu cukup dengan menggunakan lafalnya yang mengandung makna haqiqi dan juga mengandung makna yang tidak terdapat pada teksnya
o Syakaki: Ta’ridh adalah konteks yang menggambarkan sesuatu yang tidak disebutkan. Seseorang menyebut sesuatu, akan tetapi dia memaksudkan untuk yang lainnya. Dengan demikian dinamakan ta’ridh karena memiringkan kalam kepada sesuatu yang ditunjuknya
o Thiby menyatakan bahwa ta’ridh adalah mengungkapkan sesuatu dengan tujuan:
- Menjelaskan sesuatu yang ada di sisinya
- Menghaluskan
- Lil istidraj (menundukkan musuh)
- Untuk mencela
- Untuk merendahkan
o Syubki: Ta’ridh itu ada dua macam. Pertama ungkapan yang mengandung makna hakiki akan tetapi tersirat makna lainnya yang dimaksud. Kedua ungkapan yang tidak dimaksudkan ungkapan hakikinya